Ahad

'Perancangan Yahudi Laknatullah'

-'Arahan Pemimpin Barat untuk Menghancurkan Islam & umatnya"

1)Melenyapkan sistem pemerintahan khalifah Islam di negara Islam.

2)Hancurkan akhlak Muslim,meracuni fikiran mereka timbul keregangan hubungan mereka dengan
    Allah & bebaskan mereka dari hawa nafsu mereka..

3)Mengahpuskan Al-Quran yang menjadi sumber kekuaktan & ketamadunan Islam.

4)Melenyapkan sebarang bentuk persatuan Muslim yang menjadi sumber kekuatan umat Islam
   sedunia

5)Menimbulkan rasa ragu didalam pemikiran orang-orang Islam terhadap kebenaran Islam.

6)Hancurkan arab..agar dengan kehancuran itu mereka pula yang akan menghancurkan Islam yang
    mereka anuti selama ini.

7)Dirikan sistem ditaktor didalam Islam untuk menyekat berkembangnya muslim & agama Islam.

8)Pencilkan umat Islam supaya tidak dapat menguasai perindustrian & membiarkan mereka hancur
   dengan barang-barang barat.

9)Singkirkan tokoh Islam & jangan beri kesempatan kpd mereka untuk bergerak bebas dalam
   menerangkan kebenaran Islam

10)Rosakkan wanita-wanita Islam & galakkan pergaulan bebas dikalangan pemuda & pemudi Islam
     kerana apabila rosak wanita maka rosaklah seluruh umatnya.


- 6 BENTUK PERANCANGAN YAHUDI- (6S)
* menanam fahaman sekularisme (sekular)
- menanam benci pada agama -berpegang pada sunnah akhir zaman ini
* Nyanyian (song) seperti memegang bara api...
* Seksual (seks)
- lucah
* Gaya Hidup (style) -jika semua nya dilakukan mereka seperti sampah
* Tayangan gambar (skrin) sarap...
* rokok (smoke)
* sukan (sport)






ayuhlah bangkit wahai pemuda/pemudi Islam..islam itu perlu dijulang tinggi...kerja Islam itu bkn satu bebanan..bukan paksaan tetapi memastikan Islam ditempat yang tinggi itu satu kewajipan..Allah bleh pelihara agama yang DIA redha tanpa kita tapi kita yang nak pahala dan syurgaNya.


Kewajipan seorang pemuda/i Islam..hendaklah mereka memahami Islam(apakah makna Islam)
beramal dalam Islam(berusaha & berjuang utk memastikan Islam tertegak berdiri.),
berusaha mengajak orang lain memahami Islam, mengikat hati-hati kita agar memperjuangkan Islam..
Read more...
Tundukku malu didepanMu
kernaku insan berdosa
kuadukan sesalanku
apakah kan Kau terima

kesunyian ini sedarkan diriku yang lena
tinggalkan semalam yang nanah
lantas meratap hina kan ku pada sempurnaMu
terpaut aku tak berpaling

ku bersyukur hanya padaMu tuhan
kau temukan laluan bermula
Dan cintaMu bagai air di tandus sahara yang melepaskan dahaga

suburkan cahaya menerangi langkahku
semaikan segala hiasan indah cintaMu

ku bersyukur hanya padaMu tuhan
kau tunjukkan laluan ku pulang
Dan cintaMu bagai air di tandus sahara yang melepaskan dahaga

ku mohon kau tenangkan gusar hatiku yang rawan
bimbang Kau singkirkan taubatku
kurayu Kau hulurkan keampunanMu padaku
kelakku zalimi diriku

Janjiku padaMu abdikan seluruh jiwa
sehingga masanya kau seru hujung nyawaku(x2)

ku bersyukur hanya padaMu tuhan
kau tunjukkan laluan ku pulang
Dan cintaMu bagai air di tandus sahara yang melepaskan dahaga

Tak jemu dimanakah hentinya rayuan taubatku padaMu....

Read more...

qadaya mu'asirah-konsep sewa???

konsep sewaan yang hujungnya diakhiri dengan pemilikan... kelas Qadaya seperti biasa...bagi student syariah group 2 klas diadakan pada Isnin dan selasa jam 8.00pagi & 5.30- 7.00petang...satu cabaran bagi student yang tiada seperti aku,terpaksa bersiap awal,mandi awal,tapi itulah pengajian,dan xpernah membosankan aku...cuma pada malamnya,amat meletihkan ...segala program yang ditetapkan pada malam hari ingin sahaja aku ponteng ,bkan pa...letih katakan,,,huhu.. teringat pembelanjaran kami dalam kelas qadaya "akad sewaan yang berakhir dgn pemilikan" yang kini susah dijumpai ...((mana ada penyewa nak bagi sewa bila dah cukup tempoh nak jual...huhu-jarang2 leh jumpa)) maklumat2 ini dipetik dari blog2 yang pernah aku ziarahi dan fb....ianya hanya sebagai muraja'ah sahaja... apa itu sewaan yg diakhiri dengan pemilikan??? 1.DEFINISI Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan ada adalah sebuah istilah modern yang tidak terdapat dikalangan fuqaha terdahulu. Definisinya: Istilah ini tersusun dari dua kata; a. at-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa) b. at-tamliik (kepemilikan) Kita akan mendefinisikan dua kata tersebut, setelah itu kita akan definisikan akad ini secara keseluruhannya. Pertama: at-ta’jiir menurut bahasa; diambil dari kata al-ajr ,yaitu imbalan atas sebuah pekerjaan, dan juga dimaksudkan dengan pahala.Adapun al-ijaaroh: nama untuk upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan Sedangkan al-ijaaroh dalam istilah para ulama ialah suatu akad yang mendatangkan manfaat yang jelas lagi mubah berupa suatu dzat yang ditentukan ataupun yang disifati dalam sebuah tanggungan, atau akad terhadap pekerjaan yang jelas dengan imbalan yang jelas serta tempo waktu yang jelas. Kita simpulkan bahwa al-ijaaroh atau akad sewa terbagi menjadi dua: 1. sewa barang 2. sewa pekerjaan Kedua: at-tamliik secara bahasa bermakna: menjadikan orang lain memiliki sesuatu.Adapun menurut istilah ia tidak keluar dari maknanya secara bahasa. Dan at-tamliik bisa berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat, bisa dengan ganti atau tidak. ü Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi dengan adanya ganti maka ini adalah jual beli. ü Jika kepemilikan terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti maka disebut persewaan. ü Jika kepemilikan terhadap sesuatu tanpa adanya ganti maka ini adalah hibah/pemberian. ü Adapun jika kepemilikan terhadap suatu manfaat tanpa adanya ganti maka disebut pinjaman. Ketiga: definisi “al ijarah al muntahia bit tamlik” (persewaan yang berujung kepada kepemilikan) yang terdiri dari dua kata adalah;kepemilikan suatu manfaat (jasa) berupa barang yang jelas dalam tempo waktu yang jelas, diikuti dengan adanya pemberian kepemilikan suatu barang yang bersifat khusus dengan adanya ganti yang jelas. Ungkapan mereka: kepemilikan suatu manfaat (jasa), inilah ijaaroh/sewa menyewa. Ungkapan mereka: diikuti dengan adanya pemberian kepemilikan suatu barang, ini adalah jual beli. Maka ini yang disebut persewaan yang berujung kepada kepemilikan (al ijarah al muntahia bit tamlik)
2.PERKEMBANGAN Al IJARAH AL MUNTAHIYA BIT TAMLIK Akad ini pertama didapatkan pada tahun 1846 masehi di Inggris, dan yang memulai bertransaksi dengan akad ini adalah seorang pedagang alat-alat musik di inggris, dia menyewakan alat musiknya yang diikuti dengan memberikan hak milik barang tersebut, dengan maksud adanya jaminan haknya itu. Setelah itu tersebarlah akad seperti ini dan pindah dari perindividu ke pabrik-pabrik, dan yang pertama kali menerapkannya adalah pabrik sanjar penyedia alat-alat jahit di inggris.Selanjutnya berkembang, dan tersebar akad ini dengan bentuk khusus di pabrik-pabrik besi yang membeli barang-barang yang sudah jadi, lalu menyewakannya Kemudian setelah itu tersebar akad semacam ini dan pindah ke Negara-negara dunia, hingga ke Amerika Serikat pada tahun 1953 masehi.Lalu tersebar dan pindah ke Negara Perancis pada tahun 1962 masehi.Terus tersebar dan pindah ke Negara-negara Islam dan Arab pada tahun 1397 hijriyah. 3.SEBAGIAN PERMASALAHAN FIKIH MENGENAI AKAD INI Sebelum masuk ke akad sewa yang berakhir kepada kepemilikan, harus ada pembahasan sebagian permasalahan fiqh yang dibangun atasnya akad ini. Karena orang –orang yang melarang akad ini -sebagaimana akan kita sebutkan pada bagian-bagian akad ini – secara muthlak mengatakan: bahwa ia merupakan persyaratan sebuah akad di dalam suatu akad, dan ini tidak diperbolehkan menurut jumhur/kebanyakan ahli ilmu. ü Mereka mengatakan pula: ia mengandung keterkaitan akad jual beli dengan syarat yang akan datang, dan ini tidak boleh. ü Perkataan mereka: mengkaitkan hibah, adalah tidak boleh . ü Mereka berkata: ini dilandasi di atas janji dan konsekwensinya. Sedangkan janji tidak mesti wajib menurut jumhur Maka permasalahan seperti ini, kita mengisyaratkan kepada perkataan para ulama di dalamnya secara global, lantaran sebagaimana telah terdahulu akad ini –akad sewa yang berakhir kepada kepemilikan- dibangun di atas permasalahan-permasalahan ini, Jikalau kita mengetahui hukum seputar permasalahan-permasalahan ini akan terang bagi kita jawaban orang yang melarang akad semacam ini secara mutlak dengan seluruh macam dan gambarannya. Dan akan datang kepada kita, bahwa akad ini mempunyai tiga jenis: 1. Jenis yang diharamkan 2. Jenis yang dibolehkan 3. Jenis yang diberikan pedoman-pedomannya oleh para ulama Mereka yang melarang keseluruhan jenis ini dan gambaran-gambaran akad sewa yang berujung kepada kepemilikan semua, berpegang pada permasalahan-permasalahan fiqh yang telah disebutkan, dan kita akan mengupas permasalahan ini secara global sebelum menyebutkan akad sewa yang berakhir kepada kepemilikan. 3.1 Syarat manfaat/jasa Telah berlalu bagi kita tentang kaidah-kaidah bahwa asal syarat-syarat dalam akad jual beli adalah sah, dalillnya firman Allah ‘Azza wa jalla: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al-Maidah:1) Pemenuhan terhadap akad mencakup pemenuhan dengan pokok dan sifatnya, termasuk sifat akad adalah syarat yang ada di dalamnya, Dan juga dalam hadits Abi Hurairoh radhiallahu ‘anhu, Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda; ” Kaum muslimin tergantung pada syarat-syarat mereka” Pengertian syarat dalam jual beli : syarat dalam akad jual beli adalah apa yang disyaratkan oleh salah seorang dari dua pihak dengan mendapatkan maslahat di dalamnya. Tempatnya: telah terdahulu penyebutannya bahwa tempat syarat-syarat ini sah dilakukan sebelum akad (transaksi), dan sah pula jika ketika pas akad, juga sah dilakukan pada waktu dua khiyar (bebas memilih), waktu khiyar syarat dan saat khiyar majlis (tempat akad) Pembagian syarat-syarat dalam akad: syarat-syarat dalam jual beli terbagi menjadi empat macam. Pertama: Syarat yang mengharuskan adanya akad. Ini adalah sah berdasarkan ijma’ (kesepakatan), oleh karena itu tidak menyebutkannya dalam kitab-kitab ringkasan mereka, dan hanya menyebutkannya di kitab-kitab besar, dan penyebutan syarat ini hanya berupa penjelasan dan penegasan. Contohnya; Persyaratan agar harga dibayar tunai, maka jikalau penjual berkata: ‘Saya menjual rumah ini kepada anda dengan syarat dibayar tunai’ Maka syarat semacam ini tidak perlu, karena konsekwensi dari akad adalah harga dibayar langsung dan bukan ditunda, jika ingin ditunda pembayarannya maka bagi penjual berhak mensyaratkan agar tidak ditunda pembayarannya. Begitu pula sang pembeli jika mengatakan; “Saya beli mobil dengan syarat saya ambil langsung sekarang” Ini juga termasuk syarat yang berkonsekwensi terjadinya akad. Lantaran pada asalnya seorang pembeli bisa langsung memilikinya saat itu juga, adapun jika ingin mengakhirkannya maka boleh ia mensyaratkannya. Kedua : Syarat maslahat, sama saja apakah maslahat itu kembali kepada akadnya atau salah seorang dari dua pihak yang bertransaksi, syarat ini juga sah dengan kesepakatan para imam/ulama. Contohnya: Syarat dalam gadai, jaminan atau tanggungan, keseluruhan syaratnya sah, sebagaimana jika seandainya sang pembeli berkata: “Saya mensyaratkan agar harga dibayar belakangan’, lantas sang penjual mengatakan; “Saya mensyaratkan agar anda memberikanku barang jaminan (gadai)” Ketiga: Syarat sifat/kriteria dalam barang dagangan atau harga, ini juga sah dengan kesepakatan para imam. Maka jika ia berkata: “Saya beli mobil dengan syarat kecepatan laju mobilnya begini dan begini, dan modifnya seperti ini dan ini, kekuatan mesinnya segini dan segini”. Ini merupakan syarat sifat/kriteria yang dibolehkan meskipun mensyaratkan dengan seratus syarat. Kesemua syarat ini sah dan para imam bersepakat atas hal itu. Keempat: Syarat manfaat/jasa, inilah yang diperselisihkan oleh para ulama, contohnya; dia mengatakan; “Saya jual mobil ini kepada anda dengan syarat saya menggunakannya untuk waktu satu atau dua hari, atau manfaat itu berlaku untuk sang penjual. Lalu pembeli berkata: “Saya beli dari anda mobil dengan syarat anda mencucinya atau memperbaiki yang rusak yang ditemukan di dalamnya” Hukumnya: Para ulama berselisih di dalamnya; 1. Madzhab yang paling keras dalam masalah ini adalah madzhab syafi’iyah: mereka tidak memperbolehkan ada syarat 2. Madzhab Hanbali, tidak memperbolehkan melainkan dengan satu syarat saja, yakni sah jika mensyaratkan satu syarat saja, sama saja syaratnya pada barang dagangan atau pada penjualnya, dan tidak boleh terkumpul dua syarat. Dalil mereka; karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda; “Tidak halal salaf (jual beli dengan tempo waktu tertentu) dan jual beli, tidak pula dua syarat dalam sebuah jual beli” Mereka berkata; “Menggabungkan dua syarat dari syarat-syarat yang mendatangkan manfaat tidak boleh” 3. Madzhab Malikiyah berkata: boleh mensyaratkan dengan syarat yang mudah/sedikit, jika banyak tidak boleh. 4. Madzhab Hanafiyah; Jika berlangsung interaksi manusia (adat kebiasaan) dengannya maka diperbolehkan, bila tidak, maka tidak diperbolehkan. 5. Dan pendapat ulama yang paling longgar adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim; merupakan riwayat lain dari madzhab hanbali; bahwasanya syarat-syarat yang mendatangkan manfaat itu boleh, walaupun lebih dari dua syarat, seperti tiga atau empat syarat. Tarjih/yang terkuat: Pendapat inilah yang benar, dimana kita telah sebutkan kaidah bahwa pada asalnya syarat-syarat dalam jual beli hukumnya boleh, maka kalau ia mengatakan: “Saya beli dari anda sebuah mobil dengan syarat anda menservisnya, mencucinya serta memeriksanya dan seterusnya, mereka mengatakan; “Ini boleh dan tidak mengapa, atas dasar kaidah yang telah lalu dan kita telah sebutkan dalilnya. Dalam hadits Jabir radhiallahu ‘anhu (Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam memberikan syarat kepadanya agar menghantarkan onta yang dibeli darinya ke kota Madinah) Yang benar bahwa syarat-syarat dalam jual beli keseluruhannya diperbolehkan. 3.2 Persyaratan suatu akad dalam akad Harus kita pahami dua permasalahan dahulu: Pertama: Permasalahan persyaratan satu jenis akad dalam satu akad Kedua: Menggabungkan dua akad dalam satu transaksi, maka hal ini tidaklah mengapa, yakni contohnya engkau mengatakan;” Saya jual kepada anda mobil ini dan saya sewakan untuk anda rumah ini dengan harga seratus ribu riyal. Kini anda menggabungkan jual beli beserta sewa dengan satu harga. Ini boleh, dibolehkan oleh madzhab hanbali dan maliki, namun ini tidak termasuk penyewaan yang berujung kepada kepemilikan sebagaimana yang akan datang. Akad sewa yang berakhir dengan kepemilikan: dua akad berbarengan dalam satu jenis. Disini terdapat dua akad dalam dua jenis, akan tetapi terkumpul di antara keduanya dalam satu transaksi jual beli dengan satu harga. Namun di dalam sewa yang berujung kepada kepemilikan yang dilarang Majma’ Fiqh Islami dan Perkumpulan Ulama-ulama Besar di KSA, yaitu dua akad yang berbarengan dalam satu jenis,yakni akad jual beli dan akad sewa. Akan datang Insya Allah penjelasan hal itu, bagaimana terdapat akad jual beli? Danbagaimana terdapat akad sewa? Sehingga menyebabkan mu’amalah ini tidak diperbolehkan.. Maka, menghimpun dua akad dalam satu transaksi adalah boleh serta tidak mengapa, dan jika kita ingin memisahkan di antara keduanya, kita membagi harganya. Akan tetapi mensyaratkan akad dalam akad, menurut madzhab bahwa ini terlarang. Contohnya: Engkau mengatakan; “Saya jual kepada anda rumah ini dengan syarat anda menyewakan mobil anda kepadaku, atau saya sewakan kepada anda mobil ini dengan syarat anda menjual rumah anda kepadaku”. Hukumnya: Sebagaimana madzhab hanbali melarangnya, juga ini merupakan pendapat kebanyakan ahli ilmu, bahwasanya ia tidaklah sah. Dalilnya: Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam; “Tidak halal salaf (transaksi dengan jangka waktu) dan jual beli langsung, tidak juga dua syarat dalam satu jual beli”. Juga perkataan mereka; “Sesungguhnya ini merupakan dua transaksi dalam satu jual beli yang telah dilarang Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam“ Syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim memilih pendapat yang juga merupakan pilihan As-Sa’di, suatu pendapat madzhab Maliki dan Hanbali,bahwa ini diperbolehkan dan tidak mengapa, kecuali jika mengandung unsur larangan syari’at. Kandungan unsur larangan syari’at sebagaimana bila ia mengatakan; Saya berikan kepada anda pinjaman dengan syarat anda menjual kepadaku. Maka ini sebagaimana terdahulu termasuk ke dalam manfaat-manfaat hutang piutang yang diharamkan, dengan cara pemberi hutang mensyaratkan kepada orang yang berhutang suatu manfaat yang tidak diimbangi dengan selain hutang. Juga Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam ; “Tidak halal salaf dan jual beli” Maka ini adalah syarat akad dalam akad yang mengandung unsur larangan syar’I, oleh karena itu tidak dibolehkan, itu juga mengeluarkan hutang dari pembahasannya, Yang terkuat: Pendapat inilah yang benar. Bahwa mensyaratkan akad dalam akad adalah boleh dan tidak mengapa selama tidak mengandung unsur larangan syar’i. Kita mengambil dalil atas hal ini dengan apa yang telah disebutkan dari kaidah-kaidah yang terdahulu: Pada asalnya Mu’amalah-mu’amalah dan syarat-syarat yang terdapat di dalamnya itu boleh. Adapun dua syarat yang dilarang Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam atau dua transaksi jual beli dalam satu jual beli, maka Ibnul Qayyim dan Syaikhul islam membawa keduanya kepada jual beli ‘Inah (riba), lantaran jual beli ‘inah mengandung jual beli dalam tempo waktu dan jual beli langsung, juga mengandung dua syarat; syarat tempo waktu dan syarat langsung. 3.3 Mengkaitkan akad jual beli dengan syarat yang akan datang. Contohnya; ia berkata: “Saya jual mobil ini kepada anda jika telah masuk bulan ramadhan, atau yang semisalnya. Hukumnya: Terdapat perbedaan dalamnya dua pendapat: A. Jumhur: berpendapat bahwasanya itu tidak diperbolehkan. Alasannya:Mereka mengatakan: “Ini menyelisihi konsekwensi akad, dimana konsekwensinya adalah segera (langsung) dan tidak terkait dengan apapun. B. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: berpendapat sahnya mengkaitkan akad jual beli dengan syarat yang akan datang. Dalilnya: Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam di perang mu’tah: “Komandan kalian adalah Zaid, jika ia terbunuh maka digantikan oleh Ja’far, dan jika terbunuh juga maka digantikan oleh Abdulllah bin Rawahah” Bahwa pada asalnya; ‘Syarat-syarat dalam akad itu sah’ Yang terkuat: Ringkasnya bahwa mengkaitkan akad jual beli dengan syarat yang akan datang itu boleh dan tidak mengapa. 3.4 Mengkaitkan akad hibah (pemberian) dengan syarat yang akan datang; Perbedaan dalam permasalahan ini mirip dengan perbedaan dalam permasalahan sebelumnya. A. Jumhur: Melarang hal tersebut, maka madzhab Hanafi, Syafi’I dan hanbali melarang hal itu, sebagai contoh: Jika ia berkata: “Saya berikan mobil ini jika telah masuk bulan ramadhan”. Telah terdahulu, bahwa mereka mengatakan: Pokok dalam masalah akad adalah menjadi terlaksana B. pendapat madzhab Maliki; dan yang sependapat dengan ini al-Haritsy dari madzhab Hanbali dan juga merupakan pilihan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim; bahwa ini boleh dan tidak mengapa dengannya. Jika boleh hal itu dalam akad jual beli, maka kebolehannya dalam hibab tentu lebih utama, lantaran akad-akad berupa sumbangan –sebagaimana telah terdahulu- lebih luas daripada akad-akad timbal balik. 3.5 Hukum Janji dan konsekwensinya: Sesungguhnya akad sewa yang berakhir kepada kepemilikan dibangun diatas janji berupa kepemilikan. Maka, apakah memenuhi janji itu wajib ataukah tidak? Para ulama rahimahumullah dalam masalah ini ada lima pendapat, namun kita sebutkan tiga di antaranya yaitu: 1. Jumhur Ahli Ilmu: Berpendapat bahwa menepati janji tidaklah wajib. Dalilnya: mereka mengatakan: “Tidak pernah diriwayatkan dari seorang salaf akan keharusannya”. Ibnu Batthal dan lainnya mengatakan: “Secara umum para salaf tidak menyatakan keharusan memenuhi janji”. 2. Sekelompok dari ulama salaf, yang dipilih oleh syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim; bahwasanya memenuhi janji adalah wajib dan tidak boleh menyelisinya, ini juga yang dikatakan oleh Ishaq bin Rahawaih, Umar bin Abdul Aziz, serta Ibnu Syibrimah dari madzhab hanbali. Dalilnya: ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ)) (المائدة:1). “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al-Maidah:1) ((وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ)) (المؤمنون:8) Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ)) (الصف:3،2). Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Hadits Abi Hurairoh dalam shahihain, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Tanda orang munafiq ada tiga” , di antaranya, “.. dan jika berjanji, ia menyelisihinya” 3. Pendapan Malikiyah: Bahwasanya wajib menepatinya, jika ia memasukkan obyek janji pada kebinasaan, adapun jika tidak memasukkan obyek janji kedalam kebinasaan, sesungguhnya tidak wajib atas orang yang berjanji menepatinya. Dalilnya: mereka berdalil dengan kaidah: tidak ada bahaya dan membahayakan Yang terkuat: Yang paling dekat dalam hal ini adalah apa yang dikatakan syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim berupa wajibnya memenuhi janji. 4.RINGKASAN Ringkasnya masalah ini adalah; bahwa menepati janji hukumnya wajib, dan bahwa mensyaratkan akad di dalam akad, mengkaitkan akad jual beli dengan syarat yang akan datang, mengkaitkan akad hibah dengan syarat yang akan datang, serta syarat-syarat dalam jual beli keseluruhannya adalah sah. Dengan ini menjadi jelas bahwa orang yang melarang akad sewa yang berujung kepada kepemilikan meskipun terdapat kaidah-kaidah sebagian ulama dan peneliti untuk meniadakan hal-hal yang terlarang secara syar’I dalam akad ini, sesungguhnya bukan suatu yang diarahkan, yakni: dari menutup pintu seluruhnya dan mengatakan: Bahwasanya mensyaratkan akad di dalam akad, sedangkan janji tidak wajib dipenuhi, dan didalamnya terdapat keterkaitan akad jual beli dengan syarat yang akan datang atau mengkaitkan akad hibah dengan syarat yang akan datang dan seterusnya, bahwasanya ini tidaklah diarahkan. Maka, menutup pintu atas dasar perbedaan dalam permasalahan-permasalahan ini dan sungguh sebagian ahli ilmu melarang dari hal itu. Menjadi terang tentang permasalahan-permasalahan ini, bahwa syarat-syarat kesemuanya adalah sah dan janji wajib dipenuhi, maka ketika itu, menutup pintu secara menyeluruh adalah tindakan yang tidak diarahkan. Pembahasan penulis di bagian pertama dari makalah yang telah dipublikasikan seputar definisi at’ta’jiir dan at-tamliik kemudian sebagian permasalahan fiqh yang dibangun di atasnya akad sewa-menyewa, dan kini akan dibahas pembagian-pembagian permasalahan ini beserta hukum-hukumnya. Bagian-bagian akad al Ijarah al Muntahiya bit Tamlik beserta hukumnya Akad al Ijarah al Muntahiya bit Tamlik terbagi menjadi tiga bagian: Bagian pertama: Mengikat akad sewa dalam jangka waktu tertentu yang diikuti dengan janji mendapatkan hak kepemilikannya, sedangkan janji ini tidaklah harus. Hukumnya: Boleh Alasannya: Karena subtansinya adalah akad sewa, sang penyewa menyewakan kepadanya suatu barang dan memberinya janji yang tidak lazim akan menghibahkan kepadanya barang tersebut di akhir waktu sewa, atau menjualnya kepadanya. Pada hakikatnya ia adalah akad sewa semata, pada asalnya, akad-akad sewa adalah halal dan diperbolehkan. Contohnya: Disana terdapat kesepakatan antara pemberi sewa dan yang menyewa untuk menyewa pembangkit listrik selama 10 tahun, setiap tahun segini dan segini, maka inilah akad sewa, dengan dibarengi janji pemberi sewa kepada yang menyewa akan memiliki barang tersebut setelah jatuh tempo waktu sewa, bisa dikarenakan prediksi batas waktu alat ini telah habis atau dipindah alat-alat ini yang berakibat beban tanggungan harta yang kemungkinan bisa menyamai alat-alat ini, atau lebih banyak dari harga alat-alat ini, lantas ia menghibahkan atau menjual alat-alat ini kepada yang menyewa. Bagian kedua: Mengikat akad sewa dengan barang tertentu selama jangka waktu tertentu beserta bagian-bagiannya yang jelas, yang berakibat adanya kejanggalan dalam akad ini di antaranya: 1. Adanya tambahan biaya dari yang semestinya. 2. Yang menyewa menanggung semua beban kerusakan dan kehancuran barang tersebut, sama saja dikarenakan melampaui batas atau tidak, sengaja ataupun tidak. Baik itu yang menyangkut ongkos-ongkos servis atau biaya urusan-urusan tuk menggunakan barang ini. 3. Bahwa yang menyewa bila kurang dalam membayar sewa (biaya wajib) maka, sang penyewa berhak menarik barangnya darinya, lantaran dialah pemiliknya, dan tidak mengganti biaya-biaya yang lebih dari yang semestinya dari orang yang menyewa. 4. Bila telah sempurna pelunasan angsuran biaya oleh pihak yang menyewa, maka barang sewaan beralih kepemilikannya kepada yang menyewa. Hukumya: Terlarang. Alasannya: Lantaran terdapat dua akad dalamnya yang datang berbarengan dalam satu transaksi, akad sewa dan akad jual beli: Akad sewa, Bagaimanakah akad sewa itu? yaitu dikarenakan sang penyewa berhak menarik barang ini dari yang menyewa jika kurang dalam membayar sewa. Maka ini menunjukkan bahwa pihak yang menyewa kini tidak punya hak milik, dan hanya berupa akad sewa.Begitu juga hal itu menunjukkan akad sewa; Dimana pihak penyewa berhak sepenuhnya atas biaya sewa yang sempurna, yaitu angsuran biaya yang diberikan oleh pihak yang menyewa. Akad jual beli. Bagaimanakah akad jual beli itu? Lantaran pihak yang menyewa menanggung jaminan kerusakan dan kehancuran barang tersebut. Maka semua biaya kerusakan yang terjadi dalamnya ditanggung oleh pihak yang menyewa. Oleh karena itu, terkumpul pada diri yang menyewa akad sewa karena tidak punya hak memiliki barang, dan akad jual beli lantaran ia menanggung jaminannya. Jika seandainya itu akad sewa, niscaya biaya-biaya kerusakan dan kehancuran termasuk tanggungan sang penjual, karena pada asalnya,pihak yang menyewa tidak menanggung jaminan kerusakan kecuali jika dia melampaui batas atau menyia-nyiakannya. Makna melampaui batas: melakukan suatu yang tidak dibolehkan. Makna menyia-nyiakan: meninggalkan suatu yang wajib atasnya. Maka tatkala terdapat dua akad berbeda yang berbarengan dalam satu transaksi,yaitu akad sewa dan akad jual beli,maka hukum keduanya berbeda serta dampak keduanya pun tidak sama, maka tidak sah akad ini. Akad jual beli berbeda dengan akad sewa.Lantaran jaminan dan kepemilikan dalam akad jual beli milik pembeli, adapun akad sewa, maka kepemilikan dan jaminan punya pihak penyewa selama pihak yang menyewa tidak melampaui batas atau meremehkannya. Maka bagaimana kita kumpulkan untuk pihak yang menyewa kewajiban menjamin (yang itu adalah tanggungan dalam akad jual beli) dengan tanggungan biaya akad sewa. Hal itu dengan cara jika kurang dalam membayar, akan ditarik darinya, juga ia menanggung barang ini dengan anggapan dialah pemiliknya, padalahal bukan pemiliknya, karena jika kurang dalam membayar akan ditarik barang tersebut darinya. Ketika terdapat dua akad yang berbarengan dalam suatu barang, maka akad ini menjadi terlarang, karena terdapat di dalamnya kedzaliman dan kecurangan bagi orang yang menyewa serta tindakan spekulasi atasnya. Telah terdahulu bagi kita berupa kaidah-kaidah seputar larangan kedzaliman dan larangan tindakan spekulasi. Oleh karena itu, telah tertera fatwa akan keharaman seperti bentuk ini, di antaranya fatwa Hai’ah Kibar Ulama KSA nomor 198, dimana disitu memfatwakan akan haramnya bentuk seperti ini.Begitu pula Majma’ Fiqh Islami dalam pertemuannya yang ke 12, memfatwakan keharaman bentuk seperti ini. Takhriij Sebagian Para Peneliti terhadap pembagian ini Sebagian para peneliti berkata, bahwa subtansi bentuk ini adalah jual beli dengan kredit, namun sang penyewa berambisi untuk memanfaatkan kelebihan-kelebihan akad sewa, dan kelebihan-kelebihan akad jual beli semuanya untuk dirinya, itu dengan cara membebani tanggungan akad sewa dan akad jual beli kepada pihak yang menyewa, yang membuat ia menjadi pihak yang terdzalimi dan tertipu, sekaligus terhalang dari hal itu. Bagian yang ketiga: Mengikat akad sewa dengan barang yang ditentukan dan jelas, serta bagian-bagian yang jelas, akad ini diatur dengan kaidah-kaidah; Kaidah pertama: Hendaknya jaminan barang sewaan berlaku atas sang pemilik / penyewa, bukan atas pihak yang menyewa, dan kita mengecualikan dari hal tersebut dua hal: A. Bila pihak yang menyewa melampaui batas atau meremehkannya, maka wajib atasnya tanggungan jaminannya. B. Hal yang menyangkut biaya pemakaian, maka ditanggung oleh pihak yang menyewa, seperti; minyak dan bensin. Adapun selainnya dari kerusakan dan kehancuran barang atau sebagiannya, atau yang dibutuhkan perawatannya dan seterusnya, pada asalnya ditanggung oleh sang pemilik / penyewa. Karena barang sewaan, sebagaimana pernyataan ulama; adalah amanah di tangan pihak yang menyewa, maka tidak ada tanggungan baginya melainkan jika berbuat melampaui batas atau meremehkannya. Kaidah kedua: Sesungguhnya pihak yang menyewa jika kurang dalam membayar angsuran biaya yang telah disepakati antara dia dan pihak penyewa, maka sesungguhnya dikembalikan untuknya biaya yang lebih dari yang semestinya jika ditarik barangnya darinya. Kadangkala upah/biaya yang semisal dari mobil ini dalam sebulan adalah 500 riyal, dan pihak penyewa mengambil dari pihak yang menyewa sebesar 1200 riyal perbulan. Maka bila pihak yang menyewa kurang dalam membayar angsuran, bagi pihak penyewa atas dasar itu adalah akad sewa, dia boleh menarik barang tersebut darinya,akan tetapi wajib bagi pihak penyewa mengembalikan apa yang lebih dari harga semestinya kepada pihak yang menyewa. Kaidah ketiga: Yang berkenaan dengan syarat balasan yakni bagi pihak penyewa, dia mensyaratkan kepada pihak yang menyewa syarat balasan akan memberinya ganti atas bahaya kerusakan yang akan dijumpainya sebagai timbal balik tidak disempurnakannya akad. Syarat balasan ini hendaknya sesuai kadar yang terjadi atasnya dari mudharat, lalu dilihat berapa yang terjadi atasnya dari kemudharotan sebagai timabal dari tidak disempurnakannya akad ini?, lantas ia membayar kepadanya, dan apa yang lebih dari itu, dia tidak membayar kepadanya. Inilah yang benar dalam hal yang berkenaan dengan syarat balasan, bahwasanya sah persyaratannya sebagai timbal balik adanya kemudharatan yang dijumpai pemberi syarat, adapun hal yang lebih dari itu, maka dia tidak mengambil untuknya. Dan ini pula yang difatwakan oleh Hai’ah Kibar Ulama KSA. Bila telah terpenuhi ketiga syarat ini, maka akad sewa menjadi akad yang janggal oleh ketiga kaidah ini. Hukumnya: Telah berselisih di dalamnya para ahli ilmu rahimahumullah. A. Sebagian ahli ilmu berpendapat melarang akad ini secara muthlak, meskipun diatur dengan kaidah-kaidah ini. Alasannya: Atas dasar bahwa Jumhur ahli ilmu, mereka melarang melakukan syarat akad dalam akad, dan melarang mengkaitkan akad jual beli, begitu juga akad hibah dengan syarat yang akan datang. Dan sesungguhnya memenuhi janji bukanlah sebuah keharusan, dan jika bukan sebuah keharusan dan tidak akan memenuhinya, maka tidak akan tercapai tujuan dari akad ini. B. Bahwasanya itu boleh dan tidak mengapa selama dia berjalan di atas kaidah-kaidah yang telah kita sebutkan. Adapun mensyaratkan akad dalam akad atau mengkaitkan jual beli/hibah dengan syarat yang akan datang dan seterusnya, maka telah terdahulu, bahwa yang benar adalah diperbolehkan dan tidak mengapa dengannya. Tidak mengapa badi seorang untuk mensyaratkan akad dalam akad yang lain, maka akad sewa yang disyaratkan dalamnya akad jual beli ini tidaklah mengapa. Juga tidak mengapa pihak penyewa mengataka: “Jika anda melunasi angsuran pembayaran, saya berikan mobil ini untukmu”. Inilah akad hibah yang didasari atas syarat yang akan datang Dan juga telah terdahulu, bahwa janji wajib dipenuhi, maka, bila pihak penyewa berjanji kepada pihak yang menyewa, lantas berkata: “Bila anda meyempurnakan angsuran pembayaran, saya jual kepadamu mobil ini atau saya berikan mobil ini kepada anda”. Maka sesungguhnya ini wajib, wajib atasnya untuk komitmen dengannya secara agama dan hukum, dan perkataan inilah yang benar. Oleh sebab itu, jika terpenuhi kaidah-kaidah ini dan telah terang bagi kita permasalahan-permasalahan terdahulu yang diurutkan atas permasalahan ini, dan bahwasanya kesemuanya boleh dan tidak mengapa dengannya, maka akad ini menjadi sah. Faidah: Telah beredar dari Majma’ Fiqh Islami bentuk-bentuk yang dibolehkan dalam akad ini, dimana mereka menyebutkan yang mendekati 9 bentuk, kita sebutkan sebagiannya di antaranya: 1. Akad sewa beserta janji untuk menjual di akhir tempo waktu, yakni: melakukan akad sewa lalu pihak penyewa menjanjikan pihak yang menyewa mobil ini dengan angsuran pembayaran, dengan janji memberikan hak milik kepadanya di masa akhir waktu dengan membayar sebesar segini dan segini. Majma’ Fiqh Islami memfatwakan kebolehannya akan bentuk seperti ini sepanjang memenuhi tiga kaidah terdahulu. 2. Akad sewa beserta janji untuk menjual di akhir tempo waktu dengan harga pasar, yakni; keduanya bersepakat atas angsuran pembayaran, juga bersepakat bahwasanya kelak pada akhir waktu pihak penyewa melakukan akad jual beli kepada pihak yang menyewa, tetapi dengan harga pasar, maka dilihat sebagaimana yang menyamai mobil ini sekarang, lantas dijual kepadanya. Peringatan: Jual beli dengan harga pasar adalah perkara yang diperselisihkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memandang boleh, yakni jikalau ia berkata: Saya menjual kepada anda barang ini dengan harga yang beredar dikalangan manusia atau yang berujung kepadanya harga pasar 3. Akad sewa yang dibarengi dengan janji hibah (pemberian), yakni terlaksana untuknya akad atas mobil ini dengan angsuran semacam ini dan seterusnya, dan pihak penyewa menjanjikan padanya jika telah sempurna pelunasan angsurannya, dia akan menghibahkan mobil ini. Ini juga gambaran yang diperbolehkan Majma’ Fiqh Islami 4 Akad sewa yang diikuti dengan hibah yang terkait dengan syarat berupa pelunasan angsuran pembayaraan pada kriteria terdahulu dan menjanjikannya untuk memilikinya. Pada kriteria ini ada menjadikan hak kepemilikan dengan hibah atas dasar pelunasan angsuran pembayaran, yakni ia mengatakan; “Jika anda dapat melunasi angsuran pembayaran pada waktunya, maka saya akan memberikan hak milik mobil kepada anda. Bentuk seperti ini juga diperbolehkan oleh Majma’ Fiqh Islami. Akad sewa dan bagi orang yang disewakan ada tiga pilihan diakhir waktu tempo: Pertama: Mengembalikan barang-barang kepada pihak penyewa. Kedua: Memiliki barang-barang tersebut dengan membayar sesuai harga yang disepakati keduanya Ketiga: Melanjutkan akad sewa menyewa Gambaran ini juga diperbolehkan oleh Majma’ Fiqh Islami Sumber :http://www.almoshaiqeh.islamlight.net/

Read more...